Blood and Smile



Beberapa orang tampak berkerumun di depan warung milik Bu Ersal, seorang penjual makanandi jalan dekat kampus.
Safira segera berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dan dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat kalau Bu Ersal ternyata tewas dengan kondisi yang sangat mengerikan.
Bu Ersal tewas dengan kondisi wajah dikuliti sehingga daging dan urat di wajahnya terlihat jelas, sehingga dia terlihat seperti melotot sambil menyeringai.
Safira terduduk lemas sesaat setelah melihat itu semua.
Seorang penjaga kantin yang begitu dekat dengannya dan dikenal periang itu harus pergi begitu cepat, dan dia adalah korban ketiga.
Ya ..., ketiga, karena sebelumnya telah ada dua korban pembunuhan serupa di kampus ini, yaitu mati dengan wajah dikuliti.
.
Sepulang kuliah, Safira menghampiri Nadira, teman akrabnya di kampus, dan berbicara perihal kejadian tadi dengannya, "Bukankah menyedihkan saat mengetahui orang yang begitu dekat denganmu harus pergi begitu cepat?" tanya Safira sambil berkali-kali mengusap air mata di pipinya, "Itu sudah proses alam, Safira dan kau harus bisa menerima kenyataan," jawab Nadira dengan tampang sinis.
Safira terhenyak mendengar jawaban temannya itu, namun kemudian, dia mengangguk dan tersenyum.
Dia tahu Nadira bukannya tak peduli dengan kesedihannya, tapi karena temannya itu memang memiliki ekspresi wajah yang tidak biasa, bisa dikatakan kalau Nadira berwajah antagonis, dan karena itu pula Nadira jarang memiliki teman karena selain dia pendiam, wajahnya itu pula yang membuat Nadira nampak seperti tokoh jahat dalam sinetron-sinetron murahan yang sering ditayangkan di televisi, akan tetapi cuma Safira yang mau berteman dengannya karena dia tahu, Nadira tidak seperti yang orang- orang bayangkan.
.
Keesokan harinya, Safira sedikit bingung saat mendapati teman baiknya itu tidak masuk kuliah.
Tidak biasanya dia membolos tanpa keterangan jelas seperti ini. Dicobanya menghubungi temannya itu melalui ponselnya namun tidak dijawab, akhirnya dia memutuskan untuk mencarinya ke rumahnya nanti sore.
Sepulangnya dari kuliah Safira mendapati para tetangganya ramai berkerumun didepan rumahnya bersama beberapa orang polisi, dan nampak sebuah mobil jenazah diparkir tepat di depan gerbang rumahnya.
Dahi Safira berkerut dalam, firasatnya juga tidak enak. Tidak biasanya rumahnya ramai begini, dan kenapa harus ada mobil jenazah? Pupil Safira melebar ketika menyadari sesuatu.
Dengan panik gadis itu menerobos kerumunan yang melihatnya dengan pandangan iba.
Begitu sampai di bagian belakang mobil jenazah dia langsung mendapati sebuah kantung mayat yang terisi, Safira langsung membuka kantung itu.
Begitu melihat isinya, Safira jatuh terduduk di tanah dan menangis histeris.
Di dalam kantung itu, ada seorang wanita yang sangat Safira kenali, itu adalah ibunya.
Belum selesai dia dilanda shock karena ibunya meninggal tiba-tiba, dia dikejutkan dengan kenyataan bahwa kondisi ibunya sangat mengerikan. Wajahnya …, Safira menutup mulutnya untuk menahan isakan, wajah ibunya dikuliti!
Kemarin, Ibu Ersal, penjaga kantin yang paling dekat dengannya meninggal, lalu sekarang ..., dia tidak sanggup berpikir lagi.
Apa salahnya? Kenapa harus orang-orang terdekatnya yang mati? Beberapa jam kemudian, dengan kondisi kacau balau, Safira berjalan di tengah keheningan malam sendirian.
Matanya bengkak, wajahnya pucat, dan bibirnya berdarah karena dia terlalu banyak mengigitinya.
Tujuannya hanya satu, rumah teman dekatnya, Nadira.
Langkahnya terhenti ketika sampai di sebuah rumah bercat putih dengan penerangan ala kadarnya.
Tanpa permisi, ia langsung membuka pintu rumah Nadira. Persetan dengan sopan santun, pikirannya sedang kacau.
Safira dibuat kebingungan dengan kondisi rumah temannya yang sangat gelap.
Tidak biasanya Nadira bisa bertahan di tengah kondisi tanpa pencahayaan begini.
Dengan tangan meraba dinding untuk menemukan saklar, Safira terus mengamati rumah itu dalam kegelapan, tanpa sadar, tangannya menekan sesuatu, seperti sebuah tombol, disusul dengan sebuah suara keras.
Dengan rasa penasaran yang besar, ia kembali meraba dinding untuk menemukan saklar lampu ...ah, ketemu! Dengan pencahayaan yang jelas, Safira bisa melihat pintu di samping kamar Nadira terbuka lebar.
Aneh sekali, bukannya pintu satu itu mestinya selalu terkunci rapat, pikirnya dalam hati. Akhirnya ia memutuskan untuk memasuki ruangan yang Nadira pernah sebut sebagai gudang itu.
Namun bukan barang-barang bekas yang ia temukan, ia malah menemukan sebuah tangga.
Berbekal rasa penasaran yang besar, dia memberanikan diri menuruni tangga tersebut, hingga sampai di sebuah ruangan yang remang-remang.
Di sana Safira menjumpai ada berbagai macam topeng dan satu buah meja yang entah apa isinya.
Safira merasa tertarik untuk melihat-lihat topeng-topeng yang tergantung di dinding ruangan itu dan dia mendapati kalau tekstur topeng itu mirip dengan kulit manusia.
Safira semakin dibuat terkejut saat melihat sebuah topeng.
Bentuknya familiar, sangat familiar. Itu mirip sekali dengan wajah ibunya, "Dasar lancang, beraninya kau memasuki ruangan pribadiku, Safira!" Sebuah suara yang dikenalnya membentaknya dan
Safira segera membalikkan tubuhnya dengan cepat. Tanpa ada peringatan apa pun, Nadira menerjang tubuh mungil Safira dan menghantamnya dengan tinju di wajah ditambah makian yang belum pernah Safira dengar dari mulutNadira.
Safira jatuh terjerembab di lantai dan kacamatanya terlepas, butuh beberapa menit bagi Safira untuk menemukan kacamatanya sesaat sebelum Nadira menendang dirinya yang masih merangkak di lantai.
Safira kembali tersungkur dan di saat itu pula ia menemukan sebilah pisau bedah yang terjatuh dari meja dan tergeletak tepat di dekatnya.
Safira berbalik dan dia melihat Nadira hendak bersiap mendaratkan kakinya di perut Safira.
Secepat mungkin Safiramengayunkan tangannya yang memegang pisau bedah dan pisau itu langsung merobek pergelangan kaki kiri Nadira, "Aaaarghh...!!!" Nadira berteriak kesakitan dan langsung ambruk ke lantai.
Kesempatan itu tak disia-siakan Safira, begitu melihat Nadira ambruk ke lantai dia langsung berdiri dan mendaratkan kepalan tangannya secara bertubi-tubi ke wajah Nadira, "Keparat kau, apa yang sudah kau lakukan pada ibuku!" Safira berteriak marah dengan mata yang kembali berlinang air mata, "Aku tak dapat menahannya Safira, aku ingin memiliki senyum ibumu, karena senyuman ibumu lah yang benar-benar tulus, dan aku ingin sekali bisa memiliki senyum seperti itu.
Kau tahu Safira, bagaimana rasanya hidup dijauhi orang hanya karena kau berwajah sinis? Itu sungguh mengerikan buatku, dan aku iri padamu," Nadira mengatakannya tanpa nada bersalah sedikit pun dan itu makin membuat Safira marah.
Ditariknya kerah baju Nadira dan dipaksanya Nadira duduk bersandar di dinding, "Apakah belum cukup aku yang menjadi sahabatmu Nadira!? Aku bahkan sudah rela melakukan apa saja demi membuatmu tersenyum, dan kau .., kau sungguh tega melakukan itu padaku!" Safira kembali menangis saat mengatakan hal itu, gadis cantik itu nampak depresi dengan kejadian-kejadian yang menimpanya belakangan ini.
Wajah Nadira terlihat semakin pucat dan Safira bisa merasakan darah Nadira yang keluar semakin banyak, "Maaf, Safira, satu teman saja masih belum cukup, aku ingin memiliki banyak teman, kalau saja aku bisa memiliki senyuman seperti ibumu itu," ujar Nadira sambil tertawa.
Mendadak Safira berubah menjadi ekspresi iba, dia lalu mendekati Nadira.
"Aku ini sahabatmu Nadira, dan aku sanggup membuatmu tersenyum saat ini juga, kau percaya padaku bukan?" tanya Safira dengan nada lembut.
Nadira memandangi sahabatnya itu dengan ekspresi tak percaya,"Benarkah itu Safira? Tapi kenapa kau mau membantuku lagi setelah kau tahu apa yang kulakukan pada ibumu?" tanyanya.
Safira hanya tersenyum sambil membelai rambut Nadira, "Karena aku adalah sahabatmu" jawabnya sambil menyeringai.
.
Tiga jam kemudian, Safira masih terduduk di ruangan itu, dia masih belum bisa menerima apa yang baru saja terjadi.
Ingatan Safira melayang kepada kejadian seminggu yang lalu, saat itu dia dan Nadira sedang berbincang berdua di sebuah kafe.
Nadira mengatakan bahwa dia ingin memiliki senyuman ibunya dengan cara menguliti wajahnya, dan tentu saja Safira tak akan membiarkan sahabatnya itu melakukannya.
Dia memohon pada Nadira untuk mengurungkan niatnya itu dan Nadira setuju dengan syarat Safira harus mencarikan penggantinya.
Dan dimulailah rangkaian tragedi dikampusnya itu, Safira membunuh satpam kampus yang dikenal periang sementara Nadira menguliti wajahnya dengan sebuah pisau bedah, namun kata Nadira itu belum cukup.
Lalu mereka membunuh seorang mahasiswa, sampai akhirnya Safira harus menguatkan hatinya saat Nadira berkata bahwa dia menginginkan senyum bu Ersal, penjaga kantin yang dekat dengan Safira.
Pada awalnya Safira berpikir kalau Nadira sudah berhenti menginginkan senyuman orang lain dan mereka berdua tak perlu membunuh lagi, namun dia tak menduga kalau Nadira akan melanggar janjinya.
Karena akhirnya, Nadira membunuh ibunya juga seorang diri tanpa memikirkan nasib Safira yang kini hidup sebatang kara.
Namun Safira bisa sedikit bahagia karena dia bisa membuat sahabatnya itu tersenyum.
Dipandanginya wajah sahabatnya itu, nampak ada sebuah senyuman terukir di wajahnya.
Ya, terukir dalam arti yang sebenarnya. Senyuman yang dibuat oleh Safira dengan cara merobek mulut Nadira dari pipi ke pipi dengan sebuah pisau bedah dan itu mampu membuat Nadira yang kini hanyalah sebuah tubuh tak bernyawa menjadi nampak tersenyum.
Safira beringsut lalu duduk di samping mayat sahabatnya itu,"Kau tahu Nadira, kita sekarang memiliki sebuah kesamaan, kita sama-sama tak memiliki orang tua lagi, tapi kau tahu Nadira? Kita tak akan kesepian karena kita berdua saling memiliki." Safira berkata sambil tersenyum pada mayat Nadira yang terbujur kaku di sampingnya, "Tapi kau tentu tahu, kalau aku tak mau dipenjara karena hal-hal yang sudah kita lakukan, karena di penjara, aku pasti tak punya teman tapi di sini, kita bisa tersenyum bersama untuk selama-lamanya." kata Safira sambil memeluk mayat sahabatnya itu.
Setelahnya Safira memungut pisau bedah yang tadi dia jatuhkan di pangkuan Nadira, dan dengan pisau itu, Safira lalu merobek mulutnya sendiri dan tak terbayangkan betapa sakit dan perihnya saat dia melakukan itu.
Lalu dia membisikan sesuatu pada mayat Nadira, "Aku hanya ingin tersenyum bersamamu, Nadira".
Segera setelah Safira membisikkan kata-kata itu, dia langsung menikamkan pisau itu tepat ke jantungnya sendiri.
.
Polisi datang beberapa jam kemudian atas laporan seorang tetangga yang mendengar suara gaduh dari rumah Nadira, dan mereka menemukan mayat Safira dan Nadira saling berpelukan dengan sebuah luka robek menganga di wajah mereka berdua.
End.
------------------------------------------------------

Source : Creepypasta Indonesia on Facebook
Stay and Wait More :)

0 Response to "Blood and Smile"

Post a Comment